Jakarta, Jubi – Kekerasan militer Indonesia terhadap warga Papua yang berlangsung puluhan tahun sejak 1963 tidak di pahami warga Indones...
Jakarta, Jubi – Kekerasan militer Indonesia terhadap warga Papua yang berlangsung puluhan tahun sejak 1963 tidak di pahami warga Indonesia di wilayah lain. Warga Indonesia yang lain hanya memahami Papua itu PT. Freeport dan konflik bersenjata atas nama kesatuan NKRI. Karena itu perlu kampanye.
“Kita perlu sosialisasi supaya masah ini tidak bias. “Papua itu Kita”
menjadi tempatnya. Papua itu kita, pelabuhan kita sampaikan masalah,”
kata Zely Ariane dari gerakan “Papua itu Kita” dalam diskusi publik
dibawah sorotan thema “Militerisasi dan Impunitas: Penyebab Situasi
Kehidupa Perempuan Papua Makin Memburuk” di kantor LBH Jakarta, Jumat
(13/3).
Dalam rangka itu, Sandra Mambrazar dari Elsham Papua yang dihadirkan
oleh gerakan “Papua itu Kita” sebagai nara sumber mengatakan kekerasan
Negara terhadap Perempuan Papua terjadi jauh sebelum Papua menjadi
bagian dari Republik Indonesia melalui Pepera 1969.
Katanya, hasil penelitian Elsham Papua membuktikan pada 1963 sejumlah
wanita di kepala burung mengalami kekerasan fisik. “Ada yang sudah
cacat permanen,” katanya saat memaparkan materi gambaran umum tentang
kekerasan terhadap Perempuan di Papua.
Kata Mambrasar, kekerasan terhadap perempuan Papua itu masih
berlanjut hingga kini. Perempuan Papua masih menghadapi Kekerasan fisik,
seksual, psikis dan diskriminasi. Pola umum yang digunakan itu stigma.
Suami atau keluarga yang dicurigasi diteror, ditahan, dipukul dan
ditembak dan itu berdampak kepada perempuan.
“Suaminya yang distigma atau keluarga yang terlibat gerakan
perlawanan otomatis tidak mendapatkan bantuan walaupun aparat kampung
yang mengurus bantun raskin itu satu marga,” katanya mencontohkan salah
satu kasus pembagian bantuan beras rakyat miskin (Raskin) di Biak Barat.
Yones Douw, Kordinator Monitoring dan Investigasi Pelanggaran Hak
Asasi manusia dari Departemen Keadilan dan Perdamaian Gereja Kigmi di
tanah Papua mengatakan bantuan yang diberikan gereja setempat tidak
cukup. Orang terus berjatuhan yang berdampak kepada perempuan Papua dan
anak-anak Papua.
“Perempuan yang suaminya ditembak menghadapi tekanan psikologi,
mengahadapi anak-anak yang tidak ada ayah. Perempuan Papua masih
menangis hari ini. Saya harap ke depan tidak ada lagi wanita-wanita yang
menangis di tanah ini,” katanya.
Menurut Arti Nurbaiti, Redaktur Surat Kabar The Jakarta Port, yang
hadir sebagai penanggap, masalah Papua sulit mendapat perhatian media
Nasional. Banyak alasan yang dihadapi media besar yang berbasis di
Jakarta. Alasan teknis hingga alasan penting tidaknya masalah yang
terjadi di Papua.
“Kalau kekerasan militer seperti kongres Papua III. Tentara nembak
warga itu tetap muat karena pemahamannya negara demokrasi sebesar ini
kok ada kekerasan seperti itu,” ujarnya. (Mawel Benny)
COMMENTS